Quraish Shihab Perpaduan Antara JIL dan Syi'ah

Quraish Shihab Perpaduan Antara JIL dan Syi'ah

Obor Rakyat :: Quraish Shihab Perpaduan Antara JIL dan Syi'ah
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Kalau membicarakan tokoh yang satu ini (Quraish Shihab) memang tidak ada bosannya, soalnya tokoh yang satu ini (Quraish Shihab) selalu nyelenih, dan sudah banyak dibantah oleh tokoh-tokoh Islam, dan juga para santri dan pondok pesantren, dan yang paling menghebohkan ialah saat dibantah oleh Pondok Pesantren Sidogiri.
Semua Tokoh Islam yang berpegang teguh dengan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah (ASWAJA) yang mengetahui mengenai Quraish Shihab dan karangan-karangannya, pasti menyatakan dia (Quraish Shihab) ialah penganut JIL atau Penganut Agama Syi'ah. dan saya disini tidak akan terlalu panjang lebar, saya disini akan langsung membagikan Tulisan mengenai Quraish Shihab dan pendapatnya yang tidak sesuai dengan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.

Membongkar Kedok JIL – Pengikut & Pemuja Iblis 
Islam adalah agama yang sempurna. Kesempurnaan ini akan senantiasa dijaga oleh Allah sampai hari kiamat. Namun, sudah menjadi sunatullah bahwa akan selalu muncul orang-orang ataupun kelompok yang berusaha merusak atau pun memunculkan kekaburan pada agama yang sudah jelas ini.
Diantaranya adalah perusakan yang dilakukan oleh orang-orang yang lebih mengedepankan akal dibanding nash Al Qur’an dan As Sunnah. Gerakan ini muncul di banyak tempat dan sudah berlangsung sejak dulu. Termasuk di Indonesia, gerakan ini sekarang dikenal dengan Jaringan Islam Liberal (JIL).
Menurut pemahaman Ahlus Sunnah, satu hal yang sudah mapan (sudah pasti dan tetap) dalam aqidah bahwa dalam memahami agama ini harus selalu mendahulukan Al Qur’an dan As Sunnah dibanding akal. Manakala ada sesuatu yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As-Sunnah maka harus kita singkirkan. Hal ini berdasarkan apa yang Allah jelaskan dalam kitab-Nya dan Rasulullah sebutkan dalam Sunnahnya, diantaranya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)
اتَّبِعُوا مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاءَ ۗ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (darinya).” (Al-A’raf: 3)
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمُ اللَّهُ رَبِّي عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka putusannya (terserah) kepada Allah. (Yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nyalah aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali.” (Asy-Syura: 10)
Ketika masa semakin jauh dari zaman kenabian dan semakin banyak muncul fitnah, datang sebuah pemikiran atau paham bahwa akal harus didahulukan daripada wahyu (dalil naqli) ketika keduanya bertentangan -menurut pemahaman penganutnya-. Paham taqdimul aql ‘alan naql (mendahulukan akal dari pada naqli) yang berarti pula taqdisul ‘aql (mengkultuskan akal) ini, jika kita teliti silsilah nasabnya (asal-usulnya), maka ia akan berujung pada Iblis la’natullah ‘alaihi. Dialah yang pertama kali menggunakan akalnya untuk menolak perintah Allah Ta’ala tatkala Allah Ta’ala memerintahkan dia bersama malaikat sujud kepada Nabi Adam. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ خَلَقْنَاكُمْ ثُمَّ صَوَّرْنَاكُمْ ثُمَّ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ لَمْ يَكُن مِّنَ السَّاجِدِينَ
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِي مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُ مِن طِينٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: “Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali Iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud. Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Iblis menjawab: “Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”. (Al-A’raf: 11-12)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Perbuatan menentang wahyu dengan akal adalah warisan Syaikh Abu Murrah (iblis). Dialah yang pertama kali menentang wahyu dengan akal dan mendahulukan akal dari pada wahyu.” (Ash-Shawa’iqul Mursalah, 3/998, lihat pula Syarh Aqidah Thahawiyah hal. 207)
Manhaj (metodologi) ini kemudian diwarisi oleh para pengikut iblis dari kalangan musuh para Rasul. Diantaranya adalah kaum Nabi Nuh yang melakukan penentangan terhadap dakwah beliau. Mereka berkata sebagaimana dikisahkan oleh Allah Ta’ala :
فَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن قَوْمِهِ مَا نَرَاكَ إِلَّا بَشَرًا مِّثْلَنَا وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَىٰ لَكُمْ عَلَيْنَا مِن فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ
“Dan berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: ‘Kami tidak melihat kamu melainkan sebagai manusia biasa seperti kami. Dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang yang hina dina diantara kami yang mudah percaya begitu saja. Kami tidak melihat kamu memiliki kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.’” (Hud: 27)
Yakni, orang-orang yang menentang Nabi Nuh berkata bahwa mereka (para pengikut Nabi Nuh) mengikuti beliau tanpa dipikir benar-benar (Tafsir As-Sa’di, hal. 380). Orang-orang kafir itu beralasan, mereka tidak mengikuti Nabi Nuh ‘alaihissalam karena menganggap diri mereka sebagai orang-orang yang rasionya maju dan berpikir panjang, sedang pengikut para rasul berakal pendek (lekas percaya).
Hal yang sama terjadi pula pada zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam. Allah mengatakan tentang orang-orang munafiq dalam firman-Nya:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ آمِنُوا كَمَا آمَنَ النَّاسُ قَالُوا أَنُؤْمِنُ كَمَا آمَنَ السُّفَهَاءُ ۗ أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ السُّفَهَاءُ وَلَٰكِن لَّا يَعْلَمُونَ
“Apabila dikatakan kepada mereka: ‘Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman.’ Mereka menjawab: ‘Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang bodoh itu telah beriman?’ Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang bodoh tetapi mereka tidak tahu.” (Al-Baqarah: 13)
Tokoh paham ini yang muncul di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam adalah Dzul Khuwaishirah. Dialah yang mengatakan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam : “Bertaqwalah kepada Allah wahai Muhammad dan berbuat adillah (dalam hal pembagian).” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1219, 1581 dan yang lain. Lafadz tersebut terdapat dalam Al-Mustakhraj ‘ala Muslim, 3/129)
Orang ini tahu akan keharusan berbuat adil tapi ia tidak tahu cara adil menurut syariat. Ia menyangkal cara pembagian Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam -untuk orang-orang yang beliau maksudkan agar lunak hati mereka- dengan pandangan akalnya, ia menganggap bahwa pembagian Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam itu tidak adil walaupun Nabi membaginya dengan petunjuk dari Allah Ta’ala. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam pun berkata: “Yang di langit telah mempercayakan aku, sedangkan kalian tidak percaya kepadaku?” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1219, 1581 dan yang lain. Lafadz tersebut terdapat dalam Al-Mustakhraj ‘ala Muslim, 3/129)
Sepeninggal Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam masih ada orang yang mewarisi pemikiran itu bahkan dikembangkan menjadi lebih sistematis. Mereka tulis dalam karya-karya mereka lalu dijadikan sebagai rujukan dalam banyak permasalahan. Maka jadilah akal sebagai hakim dalam berbagai masalah. Apa yang diputuskan akal, itulah yang benar. Dan apa yang ditolaknya maka itu tentu salah. Salah satu “ahli waris” dari paham ini adalah kelompok Mu’tazilah. Menurut Mu’tazilah, manusia dengan semata akalnya sendiri dapat mengetahui batas-batas kebaikan dan kejahatan.
Al-Qadhi Abdul Jabbar (wafat tahun 415 H), salah satu tokoh terkemuka paham ini mengatakan ketika menerangkan urutan dalil: “Yang pertama adalah dalil akal karena dengan akal bisa terbedakan antara yang baik dan yang buruk …karena Allah tidak berbicara kecuali dengan orang-orang yang berakal…” (Fadhlul I’tizal hal. 139, dinukil dari Mauqif Al-Madrasah Al-’Aqliyyah min As-Sunnah An-Nabawiyyah, 1/97)
Perkataan orang-orang Mu’tazilah ini jelas bertentangan dengan ayat-ayat dan hadits yang telah disebut di muka. Karena itu, alasan seperti ini tidak bisa diterima (karena salah), apapun alasannya. Lebih-lebih karena dalilnya juga cuma dari akal, dimana akal ini satu sama lain bisa berbeda pandangan (dalam memahami sesuatu). Lantas pandangan siapa yang mau dijadikan standar?
Bahkan apa yang dia katakan itu “…karena dengannya bisa terbedakan antara yang baik dan yang buruk…” adalah pernyataan yang salah menurut dalil naqli dan akal yang sehat. Tidak secara mutlak demikian. Allah Ta’ala berfirman:
وَوَجَدَكَ ضَالًّا فَهَدَىٰ
“Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.” (Adh-Dhuha: 7)
وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحًا مِّنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَٰكِن جَعَلْنَاهُ نُورًا نَّهْدِي بِهِ مَن نَّشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا ۚ وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Kitab (Al Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki diantara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Asy-Syura: 52)
Jadi Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam sendiri sebelum diberi wahyu tidak mengetahui perincian syariat, tidak tahu mana yang baik dan yang buruk secara detail apalagi selain beliau.
Bagi yang berakal sehat, dia akan tahu, misalnya, bahwa shalat adalah sesuatu yang baik setelah diberi tahu syariat. Tahu mencium Hajar Aswad itu baik, tahu melempar jumrah itu baik, tahu jeleknya daging babi sebelum ditemukan adanya cacing pita di dalammnya, dan banyak pengetahuan lainnya semua adalah dari syariat. Dengan demikian syariatlah yang menerangkan baik atau jeleknya sesuatu.
Memang terkadang akal dapat menilai baik buruknya sesuatu namun hanya pada perkara yang sangat terbatas, seperti baiknya kejujuran dan jeleknya kebohongan. Dalam permasalahan lain, terutama dalam perkara aqidah dan ibadah, akal banyak tidak tahu bahkan butuh bimbingan wahyu untuk mengetahuinya.
Perkataan Al-Qadhi Abdul Jabbar berikutnya: “Karena Allah tidak berbicara kecuali dengan orang-orang yang berakal,” kalimat ini tidak bisa dijadikan dasar untuk melandasi pendapatnya. Karena Allah berbicara dengan orang yang berakal bukan untuk membolehkan akal mendahului wahyu. Namun agar mereka memahami ayat Allah, tunduk padanya dan tidak menentangnya. Ini hanya satu contoh ucapan tokoh Mu’tazilah.
Masih banyak ucapan sejenis yang menyelisihi nash Al-Qur’an dan As Sunnah.
Kita langsung melompat pada zaman akhir-akhir ini dimana muncul pula para pemikir semacam Muhammad Abduh. Orang ini berkata: “Telah sepakat pemeluk agama Islam –kecuali sedikit yang tidak terpandang– bahwa jika bertentangan antara akal dan dalil naqli maka yang diambil adalah apa yang ditunjukkan oleh akal.” (Al-Islam wan Nashraniyyah hal. 59 dinukil dari Al-‘Aqlaniyyun hal. 61-62)
Ia kesankan pendapatnya adalah pendapat jumhur (mayoritas) umat, sedangkan pendapat lain (yang justru mencocoki kebenaran) merupakan pendapat minoritas yang tidak perlu ditoleh. Yang benar adalah sebaliknya. Justru pendapat seluruh Ahlus Sunnah dari dulu sampai saat ini dan yang akan datang, bahwa akal itu harus mengikuti dalil Al Qur’an dan As Sunnah. Sedang mereka (orang-orang Mu’tazilah dan pengikutnya) adalah golongan minoritas yang tidak perlu dilihat orangnya dan pendapatnya.
Tokoh berikutnya adalah Muhammad Al-Ghazali yang mengatakan: “Ketahuilah bahwa sesuatu yang telah dihukumi oleh akal sebagai sebuah kebathilan, maka mustahil untuk menjadi (bagian) agama. Agama yang haq adalah kemanusiaan yang benar dan kemanusiaan yang benar adalah akal yang tepat (sesuai) dengan hakikat, yang bercahaya dengan ilmu, yang merasa sempit dengan khurafat dan yang lari dari khayalan…” (Majalah Ad-Dauhah Al-Qathariyyah edisi 101/Rajab1404 H dinukil dari Al-’Aqlaniyyun hal. 64)
Akal siapa yang kau maksud, wahai Muhammad Al-Ghazali? Pada kenyataannya yang kau maksudkan adalah akal-akal seperti yang kau miliki. Kamu jadikan akal itu sebagai alat untuk menghukumi benar tidaknya syariat. Sampai kau ingkari begitu banyak hadits shahih walaupun dalam Shahih Al-Bukhari, terlebih hadits lain seperti hadits tentang seorang muslim tidak boleh di-qishash bunuh dengan sebab membunuh orang kafir, hadits tentang dajjal, hadits tentang terbelahnya bulan sebagai mukjizat Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam , dan banyak lagi yang lain. (Kasyfu Mauqifil Ghazali, hal. 45-46)
Lain halnya dengan akal yang terbimbing dengan wahyu, mengambil ilmu dari wahyu tersebut dan berjalan dengan petunjuknya. Akal yang demikian tidak akan bertentangan dengan agama Allah. Meski demikian, bukan akal yang dijadikan hakim untuk menentukan kebenaran dan menempatkan wahyu di belakangnya.
Demikianlah paham ini senantiasa diwarisi dari generasi ke generasi walaupun terpaut waktu sekian lama. Warisan iblis ini sampai sekarang masih ada dan sungguh benar perkataan orang arab: “Likulli qaumin warits” (setiap kelompok/sekte itu ada yang mewarisi) dan sejelek-jelek warisan adalah warisan iblis, sehingga muncul berbagai pertanyaan di benak ini, yang mengingatkan kita pada firman Allah:
ÃóÊóæóÇÕóæúÇ Èöåö Èóáú åõãú Þóæúãñ ØóÇÛõæúäó
“Apakah mereka saling berpesan tentang apa yang dikatakan itu. Sebenarnya mereka adalah kaum yang melampaui batas.” (Adz-Dzariyat: 53)
‘Ala kulli hal (bagaimanapun), ini adalah upaya setan untuk menyelewengkan manusia dari agama Allah Ta’ala menuju kepada kehancuran yang nyata.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: “Sesungguhnya membenturkan antara akal dengan wahyu adalah asal-usul semua kerusakan di alam semesta. Dan itu adalah lawan dari dakwahya para rasul dari semua sisi karena mereka (para rasul) mengajak untuk mengedepankan wahyu daripada pendapat akal dan musuh mereka justru sebaliknya. Para pengikut rasul mendahulukan wahyu daripada ide dan hasil olah pikir akal. Sedang para pengikut iblis atau salah satu wakilnya, mendahukukan akal dari pada wahyu.” (Mukhtashar Ash-Shawa’iq Al-Mursalah, 1/292, lihat pula I’lamul Muwaqqi’in, 1/68-69, Mauqif Al-Madrasah, 1/86)
Lebih parah, metodologi ini menjadi ciri khas para ahli bid’ah dalam berdalil seperti yang dikatakan oleh Al-Imam Asy-Syathibi ketika menerangkan cara berdalil ahli bid’ah. Beliau berkata: “Mereka menolak hadits-hadits yang tidak sesuai dengan tujuan dan madzhab mereka dengan alasan bahwa hal itu tidak sesuai dengan akal dan tidak sesuai dengan konsekuensi dalil.” (Al-I’tisham, 1/294). Beliaupun mengatakan: “Mayoritas ahli bidah berpendapat bahwa akal dengan sendirinya mampu menilai baik dan buruk (yakni tanpa wahyu). Pernyataan ini merupakan sandaran pertama dan kaidah mereka dimana mereka membangun syariat di atasnya sehingga itu lebih utama dalam ajarannya. Mereka tidak curiga pada akal tapi terkadang curiga pada dalil ketika terlihat tidak sesuai dengan mereka sehingga mereka menolak banyak dalil yang syar’i.” (Mukhtashar Al-I’tisham, hal. 46).Wallahu a’lam.
(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Qomar ZA, Lc, judul asli Penyembah Akal Adalah Pengikut Iblis, url sumber http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=170)

Pemahaman JIL dan Quraish Shihab tentang JILBAB
sungguh pemahaman yang nyeleneh JILBAB MENURUT AJARAN JIL (JARINGAN ISLAM LIBERAL)
Jilbab adalah tidak wajib, hanya budaya Arab!- Muhammad Sa’id Al-Asymawi, seorang tokoh liberal Mesir, yang memberikan peryataan kontroversial bahwa jilbab adalah produk budaya Arab. Pemikirannya tersebut dapat dilihat dalam buku Kritik Atas Jilbab yang diterbitkan oleh Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation.
Dalam buku tersebut diyatakan bahwa jibab itu tak wajib. Bahkan Al-Asymawi dengan lantang berkata bahwa hadits-hadits yang menjadi rujukan tentang kewajiban jilbab atau hijâb itu adalah Hadis Ahad yang tak bisa dijadikan landasan hukum tetap. Bila jilbab itu wajib dipakai perempuan, dampaknya akan besar. Seperti kutipannya: “Ungkapan bahwa rambut perempuan adalah aurat karena merupakan mahkota mereka. Setelah itu, nantinya akan diikuti dengan pernyataan bahwa mukanya, yang merupakan singgasana, juga aurat. Suara yang merupakan kekuasaannya, juga aurat; tubuh yang merupakan kerajaannya, juga aurat. Akhirnya, perempuan serba-aurat.” Implikasinya, perempuan tak bisa melakukan aktivitas apa-apa sebagai manusia yang diciptakan Allah karena serba aurat.
Buku tersebut secara blak-blakan, mengurai bahwa jilbab itu bukan kewajiban. Bahkan tradisi berjilbab di kalangan sahabat dan tabi’in, menurut Al-Asymawi, lebih merupakan keharusan budaya daripada keharusan agama.[http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=339]
- M. Quraish Shihab (beliau adalah seorang cendekiawan muslim dalam ilmu-ilmu Al- Qur’an dan mantan Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VII (1998). Ia dilahirkan di Rappang, pada tanggal 16 Februari 1944. Ia adalah kakak kandung mantan Menko Kesra pada Kabinet Indonesia Bersatu, Alwi Shihab),
Dalam menafsirkan surat Al-Ahzab: 59,  M. Quraish Shihab memiliki pandangan yang aneh dengan manyatakan bahwa Allah tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab. Pendapatnya tersebut ialah sebagai berikut:
“Ayat di atas tidak memerintahkan wanita muslimah memakai jilbab, karena agaknya ketika itu sebagian mereka telah memakainya, hanya saja cara memakainya belum mendukung apa yang dikehendaki ayat ini. Kesan ini diperoleh dari redaksi ayat di atas yang menyatakan jilbab mereka dan yang diperintahkan adalah “Hendaklah mereka mengulurkannya.” Nah, terhadap mereka yang telah memakai jilbab, tentu lebih-lebih lagi yang belum memakainya, Allah berfirman: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.”[M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran (Jakarta: Lentera Hati, 2003), cet I, vol. 11, hal. 321.]
Demikianlah pendapat yang dipegang oleh M. Quraish Shihab hingga sekarang. Hal ini terbukti dari tidak adanya revisi dalam bukunya yang berjudul Tafsir Al-Misbah, meskipun sudah banyak masukan dan bantahan terhadap pendapatnya tersebut.
Di samping mengulangi pandangannya tersebut ketika menafsirkan surat An-Nur ayat 31, M. Quraish Shihab juga mengulanginya dalam buku Wawasan Al-Qur’an. Tidak hanya itu, ia juga menulis masalah ini secara khusus dalam buku Jilbab Pakaian Wanita Muslimah: Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Kontemporer, yang diterbitkan oleh Pusat Studi Quran dan Lentera Hati pada Juli 2004. Ia bahkan mempertanyakan hukum jilbab dengan mengatakan bahwa tidak diragukan lagi bahwa jilbab bagi wanita adalah gambaran identitas seorang Muslimah, sebagaimana yang disebut Al-Qur’an. Tetapi apa hukumnya?[M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998), cet VII, hal. 171]
M. Quraish Shihab juga membuat Sub bab: Pendapat beberapa ulama kontemporer tentang jilbab yang menjadi pintu masuk untuk menyampaikan pendapat ganjilnya tersebut. Ia menulis:
Di atas—semoga telah tergambar—tafsir serta pandangan ulama-ulama mutaqaddimin (terdahulu) tentang persoalan jilbab dan batas aurat wanita. Tidak dapat disangkal bahwa pendapat tersebut didukung oleh banyak ulama kontemporer. Namun amanah ilmiah mengundang penulis untuk mengemukakan pendapat yang berbeda—dan boleh jadi dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menghadapi kenyataan yang ditampilkan oleh mayoritas wanita Muslim dewasa ini.[Ibid, hal. 178.]
Selanjutnya, M. Quraish Shihab menyampaikan bahwa jilbab adalah produk budaya Arab dengan menukil pendapat Muhammad Thahir bin Asyur:
فنحن نوقن أن عادات قوم ليست يحق لها بما هي عادات أن يحمل عليها قوم آخرون فى التشريع ولا أن يحمل عليها أصحابها كذلك (مقاصد الشريعة ص 91)
Kami percaya bahwa adat kebiasaan satu kaum tidak boleh—dalam kedudukannya sebagai adat—untuk dipaksakan terhadap kaum lain atas nama agama, bahkan tidak dapat dipaksakan pula terhadap kaum itu.
Bin Asyur kemudian memberikan beberapa contoh dari Al-Quran dan Sunnah Nabi. Contoh yang diangkatnya dari Al-Quran adalah surat Al-Ahzab (33): 59, yang memerintahkan kaum Mukminah agar mengulurkan Jilbabnya. Tulisnya:
و فى القرآن: يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ” فهذا شرع روعيت فيه عادة العرب فالأقوام الذين لا يتخذون الجلابيب لا ينالهم من هذا التشريع نصيب ” مقاصد الشريعة ص 19
Di dalam Al-Quran dinyatakan, Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga tidak diganggu. Ini adalah ajaran yang mempertimbangkan adat orang-orang Arab, sehingga bangsa-bangsa lain yang tidak menggunakan jilbab, tidak memperoleh bagian (tidak berlaku bagi mereka) ketentuan ini.[M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998), cet VII, hal. 178-179.]
Untuk mempertahankan pendapatnya, M. Quraish Shihab berargumen bahwa meskipun ayat tentang jilbab menggunakan redaksi perintah, tetapi bukan semua perintah dalam Al-Qur’an merupakan perintah wajib. Demikian pula, menurutnya hadits-hadits yang berbicara tentang perintah berjilbab bagi wanita adalah perintah dalam arti “sebaiknya” bukan seharusnya.[Ibid, hal. 179.]
M. Qurash Shihab juga menulis hal ini dalam Tafsir Al-Misbah ketika menafsirkan surat An-Nur ayat 31. Di akhir tulisan tentang jilbab, M. Qurais Shihab menyimpulkan:
Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh badannya kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat itu, bahkan mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang menampakkan tangannya, bahwa mereka “secara pasti telah melanggar petunjuk agama.” Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika membahasnya berbeda pendapat.[Ibid, hal. 179.]
Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa M. Quraish Shihab memiliki pendapat yang aneh dan ganjil mengenai ayat jilbab. Secara garis besar, pendapatnya dapat disimpulkan dalam tiga hal. Pertama, menurutnya jilbab adalah masalah khilafiyah. Kedua, ia menyimpulkan bahwa ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi dan bahwa Al-Qur’an tidak menyebut batas aurat. Ketiga, ia memandang bahwa perintah jilbab itu bersifat anjuran dan bukan keharusan, serta lebih merupakan budaya lokal Arab daripada kewajiban agama. Betulkah kesimpulannya tersebut? Tulisan ini mencoba untuk mengkritisinya.
["Meluruskan Qurais Sihab dan JIL tentang Jilbab" oleh FAHRUR MU’IS].
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Apakah kamu lebih mengetahui ataukah Allah? ” (al-Baqarah : 140).
Allah Ta’ala berfirman,”Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (QS. AL MAA’IDAH: 50).
Allah Ta’ala berfirman, “Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai” (ar-Rum: 6-7).

Ada juga Buku-buku Quraish Shihab yang mendapatkan Kritikan keras dari Pondok Pesantren Sidogiri, dan berikut artikelnya:

Salah satu kesimpulan Quraish Shihab dalam bukunya ialah, bahwa Sunni dan Syiah adalah dua mazhab yang berbeda. “Kesamaan-kesamaan yang terdapat pada kedua mazhab ini berlipat ganda dibandingkan dengan perbedaan-perbedaan dan sebab-sebabnya. Perbedaan antara kedua mazhab – dimana pun ditemukan – adalah perbedaan cara pandang dan penafsiran, bukan perbedaan dalam ushul (prinsip-prinsip dasar) keimanan, tidak juga dan Rukun-rukun Islam.” (Cetakan II, hal. 265).
Berbeda dengan Quraish Shihab, pada bagian sampul belakang buku terbitan Pesantren Sidogiri, dikutip sambutan KH. A. Nawawi Abdul Djalil, pengasuh Pesantren Sidogiri yang menegaskan: “Mungkin saja, Syiah tidak akan pernah habis sampai hari kiamat dan menjadi tantangan utama akidah Ahlusunnah. Oleh karena itu, kajian sungguh-sungguh yang dilakukan anak-anak muda seperti ananda Qusyairi dan kawan-kawannya ini, menurut saya merupakan langkah penting untuk membendung pengaruh aliran sesat semacam Syiah.”
Berikut ini kita kutip sebagian kritik dari Pesantren Sidogiri terhadap Quraish Shihab (selanjutnya Quraish Shihab disingkat “QS” dan Pondok Pesantren Sidogiri disingkat “PPS”). Kutipan dan pendapat QS dan PPS diambil dari buku mereka masing-masing.
1. Tentang Abdullah bin Saba‘.
QS: “Ia adalah tokoh fiktif yang diciptakan para anti-Syiah. Ia (Abdullah bin Saba’) adalah sosok yang tidak pernah wujud dalam kenyataan. Thaha Husain – ilmuwan kenamaan Mesir – adalah salah seorang yang menegaskan ketiadaan Ibnu Saba’ itu dan bahwa ia adalah hasil rekayasa musuh-musuh Syiah.” (hal. 65).
PPS: Bukan hanya sejarawan Sunni yang mengakui kebaradaan Abdullah bin Saba’. Sejumlah tokoh Syiah yang diakui ke-tsiqah-annya oleh kaum Syiah juga mengakui kebaradaan Abdullah bin Saba’. Sa’ad al-Qummi, pakar fiqih Syiah abad ke-3, misalnya, malah menyebutkan dengan rinci para pengikut Abdullah bin Saba’, yang dikenal dengan sekte Saba’iyah. Dalam bukunya, al-Maqalat wa al-Firaq, (hal. 20), al-Qummi menyebutkan, bahwa Abdullah bin Saba’ adalah orang memunculkan ide untuk mencintai Sayyidina Ali secara berlebihan dan mencaci maki para sahabat Nabi lainnya, khususnya Abu Bakar, Umar, dan Utsman r.a. Kisah tentang Abdullah bin Saba’ juga dikutip oleh guru besar Syiah, An-Nukhbati dan al-Kasyi, yang menyatakan, bahwa, para pakar ilmu menyebutkan bahwa Abdullah bin Saba’ adalah orang Yahudi yang kemudian masuk Islam. Atas dasar keyahudiannya, ia menggambarkan Ali r.a. setelah wafatnya Rasulullah saw sebagai Yusya’ bin Nun yang mendapatkan wasiat dari Nabi Musa a.s. Kisah Abdullah bin Saba’ juga ditulis oleh Ibn Khaldun dalam bukunya, Tarikh Ibn Khaldun. (hal. 44-46).
2. Tentang hadits Nabi saw dan Abu Hurairah r.a.:
QS: “Karena itu, harus diakui bahwa semakin banyak riwayat yang disampaikan seseorang, semakin besar potensi kesalahannya dan karena itu pula kehati-hatian menerima riwayat-riwayat dari Abu Hurairah merupakan satu keharusan. Disamping itu semua, harus diakui juga bahwa tingkat kecerdasan dan kemampuan ilmiah, demikian juga pengenalan Abu Hurairah r.a. menyangkut Nabi saw berada di bawah kemampuan sahabat-sahabat besar Nabi saw, atau istri Nabi, Aisyah r.a.” (hal. 160).
QS: “Ulama-ulama Syiah juga berkecil hati karena sementara pakar hadits Ahlusunnah tidak meriwayatkan dari imam-imam mereka. Imam Bukhari, misalnya, tidak meriwayatkan satu hadits pun dari Ja’far ash-Shadiq, Imam ke-6 Syiah Imamiyah, padahal hadits-haditsnya cukup banyak diriwayatkan oleh kelompok Syiah.” (hal. 150).
PPS: “Sejatinya, melancarkan suara-suara miring terhadap sahabat pemuka hadits sekaliber Abu Hurairah r.a. dengan menggunakan pendekatan apa pun, tidak akan pernah bisa meruntuhkan reputasi dan kebesaran beliau, sebab sudah pasti akan bertentangan dengan dalil-dalil hadits, pengakuan para pemuka sahabat dan pemuka ulama serta realitas sejarah. Jawaban untuk secuil sentilan terhadap Abu Hurairah r.a. sejatinya telah dilakukan oleh para ulama secara ilmiah dan rasional. Banyak buku-buku yang ditulis oleh para ulama khusus untuk membantah tudingan miring terhadap sahabat senior Nabi saw tersebut, diantaranya adalah al-Burhan fi Tabri’at Abi Hurairah min al-Buhtan yang ditulis oleh Abdullah bin Abdul Aziz bin Ali an-Nash, Dr. Al-A’zhami dalam Abu Hurairah fi Dhau’i Marwiyatih, Muhammad Abu Shuhbah dalam Abu Hurairah fi al-Mizan, Muhammad ?Ajjaj al-Khatib dengan bukunya Abu Hurairah Riwayat al-Islam dan lain-lain.”
Dalam Bidayah wa an-Nihayah, Ibn Katsir mengatakan, bahwa Abu Hurairah r.a. merupakan sahabat yang paling kuat hafalannya, kendati beliau bukan yang paling utama. Imam Syafii juga menyatakan, “Abu Hurairah r.a. adalah orang yang memiliki hafalan paling cemarlang dalam meriwayatkan hadits pada masanya.” (hal. 320-322).
Karena kuatnya bukti-bukti keutamaan Abu Hurairah, maka PPS menegaskan: “Dengan demikian, maka keagungan, ketekunan, kecerdasan dan daya ingat Abu Hurairah tidak perlu disangsikan, dan karena itulah posisi beliau di bidang hadits demikian tinggi tak tertandingi. Yang perlu disangsikan justru kesangsian terhadap Abu Hurairah r.a. seperti ditulis Dr. Quraish Shihab: “Karena itu, harus diakui bahwa semakin banyak riwayat yang disampaikan seseorang, semakin besar potensi kesalahannya dan karena itu pula kehati-hatian menerima riwayat-riwayat dari Abu Hurairah merupakan satu keharusan.” (hal. 322).
“Pernyataan seperti yang dilontarkan oleh Dr. Quraish Shihab tersebut sebetulnya hanya muncul dari asumsi-asumsi tanpa dasar dan tidak memiliki landasan ilmiah sama sekali. Sebab jelas sekali jika beliau telah mengabaikan dalil-dalil tentang keutamaan Abu Hurairah dalam hadits-hadits Nabi saw, data-data sejarah dan penelitian sekaligus penilaian ulama yang mumpuni di bidangnya (hadits dan sejarah). Kekurangcakapan Dr. Quraish Shihab di bidang hadits semakin tampak, ketika beliau justru menjadikan buku Mahmud Abu Rayyah, Adhwa’ ?ala Sunnah Muhammadiyah, sebagai rujukan dalam upaya menurunkan reputasi Abu Hurairah r.a. Padahal, semua pakar hadits kontemporer paham betul akan status dan pemikiran Abu Rayyah dalam hadits.” (hal. 322-323).
Tentang banyaknya hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a., Dr. al-A’zhami melakukan penelitian, bahwa jumlah 5.000 hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah adalah jika dihitung hadits yang substansinya diulang-ulang. Jika penghitungan dilakukan dengan mengabaikan hadits-hadits yang diulang-ulang substansinya, maka hadits dari Abu Hurairah yang ada dalam Musnad dan Kutub as-Sittah tinggal 1336 saja. “Nah, kadar ini, kata Ali as-Salus, bisa dihafal oleh pelajar yang tidak terlalu cerdas dalam waktu kurang dari satu tahun. Bagaimana dengan Abu Hurairah, yang merupakan bagian dari mu’jizat kenabian?” (hal. 324).
Memang dalam pandangan Syiah, seperti dijelaskan oleh Muhammad Husain Kasyif al-Ghitha’ (tokoh Syiah kontemporer yang menjadi salah satu rujukan kaum Syiah masa kini), yang juga dikutip oleh QS: “Syiah tidak menerima hadits-hadits Nabi saw kecuali yang dianggap sah dari jalur Ahlul bait. Sementara hadits-hadits yang diriwayatkan oleh para perawi semacam Abu Hurairah, Samurah bin Jundub, Amr bin Ash dan sesamanya, maka dalam pandangan Syiah Imamiyah, mereka tidak memiliki nilai walau senilai nyamuk sekalipun.” (hal. 313).
PPS juga menjawab tuduhan bahwa Ahlusunnah diskriminatif, karena tidak mau meriwayatkan hadits dari Imam-imam Syiah. Pernyataan semacam itu hanyalah suatu prasangka belaka dan tidak didasari penelitian ilmiah apa pun. Dalam kitab-kitab Ahlusunnah, riwayat-riwayat Ahlul Bait begitu melimpah. Imam Bukhari memang tidak meriwayatkan hadits dari Imam Ja’far ash-Shadiq, dengan berbagai alasan, terutama karena banyaknya hadits palsu yang disandarkan kaum Syiah kepada Ja’far ash-Shadiq. Bukan karena Imam Bukhari membencinya. Bukhari juga tidak meriwayatkan hadits dari Imam Syafii dan Ahmad bin Hanbal, bukan karena beliau membenci mereka. (hal. 324-330).
3. Tentang pengkafiran Ahlusunnah:
QS: “Apa yang dikemukakan di atas sejalan dengan kenyataan yang terlihat, antara lain di Makkah dan Madinah, di mana sekian banyak penganut aliran Syiah Imamiyah yang shalat mengikuti shalat wajib yang dipimpin oleh Imam yang menganut mazhab Sunni yang tentunya tidak mempercayai imamah versi Syiah itu. Seandainya mereka menilai orang-orang yang memimpin shalat itu kafir, maka tentu saja shalat mereka tidak sah dan tidak juga wajar imam itu mereka ikuti.” (hal. 120).
PPS: “Memperhatikan tulisan Dr. Quraish Shihab di atas, seakan-akan Syiah yang sesungguhnya memang seperti apa yang digambarkannya (tidak menganggap Ahlusunnah kafir dan najis). Akan tetapi siapa mengira bahwa faktanya tidak seperti penggambaran Dr. Quraish Shihab? Jika kita merujuk langsung pada fatwa-fatwa ulama Syiah, maka akan tampak bahwa sebetulnya Dr. Quraish Shihab hendak mengelabui pemahaman umat Islam akan hakikat Syiah. Bahwa sejatinya, Syiah tetap Syiah. Apa yang mereka yakini hari ini tidak berbeda dengan keyakinan para pendahulu mereka. Dalam banyak literatur Syiah dikemukakan, bahwa orang-orang Syiah yang shalat di belakang (menjadi makmum) imam Sunni tetap dihukumi batal, kecuali dengan menerapkan konsep taqiyyah… “Suatu ketika, tokoh Syiah terkemuka, Muhammad al-Uzhma Husain Fadhlullah, dalam al-Masa’il Fiqhiyyah, ditanya: “Bolehkah kami (Syiah) shalat bermakmum kepada imam yang berbeda mazhab dengan kami, dengan memperhatikan perbedaa-perbedaan di sebagian hukum antar shalat kita dan shalat mereka?” Muhammad Husain Fadhlullah menjawab: “Boleh, asalkan dengan menggunakan taqiyyah.” (348-349).
Seorang dai Syiah, Muhammad Tijani, mengungkapkan, bahwa “Mereka (orang-orang Syiah) seringkali shalat bersamaAhlusunnah wal Jama’ah dengan menggunakan taqiyyah dan bergegas menyelesaikan shalatnya. Dan barangkali kebanyakan mereka mengulangi shalatnya ketika pulang.” (hal. 350-351).
Banyak sekali buku-buku referensi utama kaum Syiah yang dirujuk dalam buku terbitan PPS ini. Karena itu, mereka juga menolak pernyataan Dr. Quraish Shihab bahwa yang mengkafirkan Ahlusunnah hanyalah pernyataan orang awam kaum Syiah. PPS juga mengimbau agar umat Islam berhati-hati dalam menerima wacana “Persatuan umat Islam” dari kaum Syiah. Sebab, mereka yang mengusung persatuan, ternyata dalam kajiannya justru memojokkan Ahlusunnah dan memposisikannya di posisi zalim, sementara Syiah diposisikan sebagai “yang terzalimi”.
Buku terbitan PPS ini memang banyak memuat fakta dan data tentang ajaran Syiah, baik klasik maupun kontemporer. Terhadap Imam mazhab yang empat, misalnya, dikutip pendapat dalam Kitab Kadzdzabu ?ala as-Syiah, “Andai para dai Islam dan Sunnah mencintai Ahlul Bait, niscaya mereka mengikuti jejak langkah Ahlul Bait dan tidak akan mengambil hokum-hukum agama mereka dari para penyeleweng, seperti Abu Hanifah, asy-Syafii, Imam Malik dan Ibnu Hanbal.” (hal. 366).
Terlepas dari fakta tentang Syiah dan kritik terhadap Quraish Shihab, terbitnya buku ini telah menjadi momen penting bagi PPS untuk turut berkiprah dalam peningkatan khazanah keilmuan Islam di Indonesia. PPS memang telah didirikan pada tahun 1745. Jadi, usianya kini telah mencapai lebih dari 260 tahun. Jumlah muridnya kini lebih dari 5000 orang. Sejumlah prestasi ilmiah tingkat nasional juga pernah diraihnya. Diantaranya, pada Ramadhan 1425 H, PPS berhasil meraih juara I dan III lomba karya ilmiah berbahasa Arab yang diselenggarakan oleh Depdiknas RI.
Dalam Jurnal Laporan Tahunan 1425/1426 H, disebutkan bahwa PPS juga cukup sering mendapat kunjungan tamu-tamu dari luar negeri. Termasuk dari kedutaan Australia dan Amerika Serikat. Mereka selalu menerima tamunya dengan baik. Tetapi, dengan sangat berhati-hati, selama ini, PPS senantiasa menolak dana bantuan dan hibah dari Australia dan Amerika.
PPS juga termasuk salah satu pesantren di Jawa Timur yang sangat gigih dalam melawan penyebaran paham Liberal. Ditulis dalam Laporan Tahunan tersebut: “Tahun ini, PPS menggerakkan piranti dunia maya untuk melestarikan dan menyelamatkan ajaran Ahlusunnah dari serbuan berbagai aliran sesat. Di website www.sidogiri.com secara khusus disediakan rubrik “Islam Kontra Liberal”. Rubrik ini digunakan oleh Pondok Pesantren Sidogiri untuk meng-counter wacana-wacana pendangkalan akidah yang ramai berkembang saat ini. Liberalisme, humanisme, rasionalisme, pluralisme, feminisme, sekularisme, dekonstruksi syariah dan paham-paham destruktif modern lainnya, menjadi bidikan yang terus ditangkal dengan wacana-wacana salaf yang dipegang Pondok Pesantren Sidogiri.”
Kalau melihat dari kedua sisi, saya sendiri sulit untuk menyimpul mengenai Quraish Shihab.
Apakah Quraish Shihab adalah Orang yang berfaham JIL atau Berfaham Syi'ah, namun Jelas bukanlah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah. Karena itu berhati-hatilah dalam menerima pemikiran Quraish Shihab untuk menyelamatkan I'tiqadiyah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Kita.
Dan saya sangat berharap Pondok Pesantren Sidogiri dan Para Tokoh yang berkomitmen dengan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah Terus berjuang dan berkarya untuk Ummat Islam. dan Sekian dari saya Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Sumber:
Pemahaman JIL dan Quraish Shihab Termasuk Mengenai Jilbab
Kritikan Sidogiri kepada Quraish Shihab
Gaul Islam
dan sumber-sumber lainnya.
Semoga Artikel Quraish Shihab Perpaduan Antara JIL dan Syi'ah Bermanfaat Buat Semua Ummat Islam Amin Ya Rabbal 'Alamin.
thumbnail
Judul: Quraish Shihab Perpaduan Antara JIL dan Syi'ah
Link: https://oborrakyat0.blogspot.com/2014/07/quraish-shihab-perpaduan-antara-jil-dan.html
Rating: 100% based on 99999 ratings. 999999 user reviews.
Keyword Qashd: Pendidikan Dan Pengetahuan Mencangkup Quraish Shihab Perpaduan Antara JIL dan Syi'ah
Informasi Terbaru Yang Meliputi Quraish Shihab Perpaduan Antara JIL dan Syi'ah
Posted by admin, Published at 20.14 and have 0 komentar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar